Sabtu, 21 November 2009
sunshine after the rain
Minggu, 15 November 2009
STECE oh STECE... part 2
[lebaii..]
ohh,, okee... aku inget... tentang HAL BODOH...
~
ide gila tiba-tiba muncul... entah dari mana asalnya... bukan mars dan bukan jupiter... ohh,, bukan dari akal sehat yang jelas...
diputuskan menuliskan sebuah sms bodoh... bertuliskan seperti ini
Pak Agus,, maaf ya,, kita nggak menang.. kita pusing, Pak. Kita malu.. maafin kita yaa... sekarang kita mau jalan-jalan dulu sebentar. Tadi kita sudah cari Pak Agus, tapi nggak ktemu... jadi kita langsung pergi.. Maaf ya Pak...
Send to : Pak Agus
yahh,, dengan tenangnya kita ttep jalan-jalan ke PA... [bodoh]
Jalan-jalan ke tempat yang sama dengan baju kotak merah khas SMP Tarakanita Magelang... ya ampuunnn.. nggak tau malu bner dehh...
di jalanan di liatin orang pula... secara yang nggak bawa jaket waktu itu cuma saya... jadi,, kliatan banget lah klo dari Magelang...
~
lama jalan-jalan.. berputar di tempat yang sama... muterin kios CHARMY entah berapa kali...
Pelajar... silakan
entah berapa kali aku denger sapaan ituu... sampe mas-mas nya ktawa ktiwi setiap kali kita lewat sana...
~
capek,,, jalan-jalan trus... dan akhirnya diputuskan untuk cari makan.. berhubung duit terbatas.. ya udah dehh.. ke A&W aja... hho...
trus kita flashback lagii.. menelaah.. knapa sampe bisa kalah... sampe akhirnya kita teringat sama SMS yang udah dikirimin ke Pak Agus...
kyaaaaa... itu SMS serasa kayak orang mau bunuh diri... !!! bodoh bangett!!!
berhubung kita udh keburu sadarr... kita pengen cepet" balik tuhh...
tapiii... malu juga...
yahhh,, dengan modal muka baja.. cuek aja...
~
sampe di STECE kita sudah disambut dengan senyum maksa seorang Pak Agus... ya ampunn.. kita malu banget... dan kliatannya adek klas juga pada tauu...
OMG....
*pelajarannya... : jangan gegabah ngirim SMS ke orang ato kamu dikira desperate beneran*
=)
Sabtu, 14 November 2009
curhat buat sahabat
entah virus apa yang membuat ku sungguh tergila-gila padamu...
pada baris-baris kata ini...
yang merajut menjadi satu...
menjadi sebuah harapan dalam diri...
Gaun hitammu menyambar kaki meja, lalu menyapu ujung kakiku. Kamu sengaja berdandan. Membuatku agak malu karena muncul berbalut jaket jins, celana khaki, dan badan sedikit demam.
"Kamu tidak tahu betapa pentingnya malam ini," katamu, tertawa tersipu, seakan minta dimaklumi. Pastinya kamu yang merasa tampil berlebihan, karena katamu tadi di telepon, kita hanya akan makan malam sambil mendengarkan curhat.
Sebotol Musat yang terbalur dalam kepingan es diantarkan ke meja. Dudukku langsung tegak. Jangan-jangan malam ini memang betulan penting.
Anggur itu berusia enam tahun. Gaun itu cuma keluar sekali dalam dua tahun. Restoran ini terakhir kamu pilih saat ulang tahun hari jadi jatuh cintamu ke - 1, empat tahun yang lalu. "Ada yang perlu dirayakan? Selain kamu baru sembuh sakit dan aku yang gantian tidak enak badan?" tanyaku, berusaha santai.
"Malam ini aku lahir baru"
"Kamu... bertobat?"
"Bisa jadi itu istilahnya!" tawamu menggelak-gelak lepas, lalu kamu mengatur napas, "Aku... selesai"
Mataku menyipit. Menunggu penjelasan.
"Selesai! Semua sudah selesai. Lima tahun sudah cukup. Aku berhenti menunggu. Berhenti berharap. Cheers!" Kamu dentingkan gelasmu ke gelasku.
Bulu kudukku meremang tersapu hawa demam yang tiba-tiba melonjak sesaat dari dalam tubuh. Atau pendingin ruangan yang terlampau sejuk. Piano mengalun terlalu indah di kuping. Kamu terlalu cantik saat menyerukan ikrar kebebasanmu. Aku merinding lagi dan selapis keringat dingin menyembul di tepi kening.
....
"Aku menyadari sesuatu waktu aku sakit kemarin." Kamu mulai bertutur setelah sembilan puluh detik menatap piano. "Satu malam aku sempat terlalu lemas untuk bangun, padahal aku cuma ingin ambil minum. Tidak ada siapa-siapa yang bisa kumintai tolong..."
"Malam itu rasanya aku sampai ke titik terendah. Aku capek. Dan kamu tahu? Aku tidak butuh dia. Yang kubutuhkan adalah orang yang nenyayangi aku ... dan segelah air putih... "
Kepalamu menunduk, matamu terkatup, kamu sedang menahan tangis. Malam panjang kita resmi dimulai.
"Tapi... aku janji... tangisan ini buat yang terakhir kali..." katamu tersendat, antara tawa dan isak. Berusaha tampil tegar.
....
aku ingat malam itu. Hujan menggelontor sampai dahan-dahan pohon tua di jalanan rumahku rontok seperti daun kering. Teleponku berdering pukul setengah dua belas malam. Aki mobilku kering, jadi kupinjam motor adikku. Sayangnya adikku tak punya jas hujan. Dan aku terlalu terburu-buru untuk ingat bawa baju ganti. Ada seseorang yang membutuhkanku. Ia minta dibelikan obat flu karena stok di rumahnya habis. Ia lalu minta dibawakan segelas air, yang hangat. Aku menungguinya sampai ia ketiduran. Dan wajahnya sat memejamkan mata, saat semua kebutuhannya terpenuhi, begitu damai. Membuatku lupa bahwa berbaju basah pada tengah malam bisa mengundang penyakit. saat itu ada yang lebih penting bagiku daripada mengkhawatirkan virus influenza. Aku ingin membisikkan selamat tidur, jangan bermimpi. Mimpi mengurangi kualitas istirahatnya. Dan untuk bersamaku, ia tak perlu bermimpi.
Napasmu mulai terdengar teratur. Air mata masih mengalir satu-satu, tapi bahumu tak lagi naik turun. Kamu menatapku lugu. "Keinginan itu... tidak ketinggian kan??"
Lama baru aku bisa menggeleng. Tak ada yang muluk dari obat flu dan air putih. Tapi kamu mempertanyakannya seperti putri minta dibuatkan seribu candi dalam semalam.
....